Puteri Kaca
Mayang, Asal Mula Kota Pekanbaru
Cerita Rakyat Dari Riau – Indonesia
Puteri Kaca Mayang, Asal Mula Kota Pekanbaru
Puteri Kaca Mayang, Asal Mula Kota Pekanbaru
Kota
Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota
Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru
hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun,
saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas
perdagangannya. Letaknya yang strategis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan
Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit
(persinggahan) para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang
hendak berkunjung ke Bukit tinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera.
Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai
ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua
versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat.
Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang
dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin
(kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat
pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi
Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan
perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri
Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam
(1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di
Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya
Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil
Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi
pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian
dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di
sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204
H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku
(Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya
menjadi Pekan Baharu.
Sejak saat itu, setiap tanggal 23
Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan
Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu.
Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan
sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota
Provinsi Riau.
Sementara menurut versi cerita rakyat
yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan
yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah
oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri
yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau
bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja
Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam. Pada
suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya
ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat
membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib
sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru?
Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut
ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di
tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini
sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan
disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib,
tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.
Selain itu, Kerajaan Gasib juga
mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai
negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang
berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib
terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.
Pada suatu hari, Raja Aceh
memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang
panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib.
Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan
maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud
kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang
utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang
bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.
“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia
untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja
Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut
bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.
Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan
itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa
terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang
Kerajaan Gasib.
Sementara itu, Raja Gasib telah
mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin
terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima
Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.
Rupanya segala persiapan Kerajaan
Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh
mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh
sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri
Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang muda! Apakah kamu
penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib.
“Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami
jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan
yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu
menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin
menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk
negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba
menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang
diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah
Gasib.
Berkat petunjuk pemuda itu, maka
sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan
anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai
menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana
tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan
penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib
sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak
sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh)
prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja
Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya
tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik
jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam yang mendapat laporan
bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali
ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima
Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan
berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam
berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa
lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri
menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar
untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba
di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian
dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana
untuk diserahkan kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub
melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah
dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima
Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana
Gasib.
Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa
Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang,
penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri
susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta
kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat
lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada
keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat
Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas
terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil
membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka
yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah
Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.
Sesampainya di istana Gasib,
kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh
keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib
ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera
dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan
kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan
bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk
meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.
Untuk sementara waktu, pemerintahan
kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima
Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia,
membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan
penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun
kesempatan itu ada di depannya.
Akhirnya, atas kehendaknya sendiri,
Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan
baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut
nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima
Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota
Pekanbaru.
* * *
Cerita rakyat di atas tidak hanya
mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral
tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima
Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas
penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan
kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan
dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di
samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati
segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya.
Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan
milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung
tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik
bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik
orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan
milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung
tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak
sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini
akan dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang
mengatakan:
apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang lain ia kemaruk
mengambil milik orang lain ia kemaruk
apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang lain semena-mena
mengambil hak orang lain semena-mena
Orang tua-tua Melayu juga senantiasa
mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, agar tidak
menuruti hawa nafsu, menjauhkan sifat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun
memiliki harta benda, hendaknya dipelihara dengan baik dan benar supaya dapat
memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Tennas Effendy dalam
bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan tentang kemuliaan memelihara dan
memanfaatkan hak milik, baik dalam bentuk ungkapan, syair, maupun pantun. Dalam
bentuk ungkapan di antarnya:
apa tanda Melayu jati,
hak miliknya ia cermati
hak milik orang lain ia hormati
hak miliknya ia cermati
hak milik orang lain ia hormati
apa tanda Melayu jati,
memanfaatkan hak milik berhati-hati
memanfaatkan hak milik berhati-hati
apa tanda Melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela
Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda buda berpesan,
harta orang engkau haramkan
milik orang engkau peliharakan
hak orang engkau muliakan
harta orang engkau haramkan
milik orang engkau peliharakan
hak orang engkau muliakan
Dalam untaian pantun juga dikatakan:
buah barangan masak setangkai
patah tangkai jatuh ke tanah
harta orang jangan kau pakai
salah memakai masuk pelimbah
patah tangkai jatuh ke tanah
harta orang jangan kau pakai
salah memakai masuk pelimbah
sebuah
kisah yang mengajarkan sifat setia dan menjaga amanah dengan tanggung jawab
yang besar, serta tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak kita walau
sebuah kesempatan itu bisa dilakukan.
Penghulu Tiga Lorong (Indragiri
Hulu)
Peranap adalah salah satu kecamatan
di Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Kecamatan ini juga terkenal dengan sebutan
Luhak Tiga Lorong. Disebut demikian, karena pada masa kerajaan Indragiri yang
berkedudukan di Pekan Tua, Raja Indragiri yang ke-16, Raja Hasan bergelar
Sultan Salehuddin Keramatsyah (1735-1765 M.), mengangkat tiga orang bersaudara
menjadi Penghulu di tiga wilayah di Indragiri Hulu. Ketiga orang bersaudara
tersebut diangkat menjadi Penghulu, karena mereka berhasil menumpas
kesewenang-wenangan Datuk Dobalang yang berkuasa di negeri Sibuai Tinggi yang
masih wilayah Kerajaan Indragiri. Untuk mengetahui kisah bagaimana Tiga
Bersaudara tersebut mengalahkan Datuk Dobalang, ikuti kisahnya dalam Penghulu
Tiga Lorong.
Pada zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasa dan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahir menggunakan senjata, lincah mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdik pula berkelit. Mereka hidup rukun dan saling membantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko.
Pada zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasa dan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahir menggunakan senjata, lincah mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdik pula berkelit. Mereka hidup rukun dan saling membantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko.
Pada
suatu hari, mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya
subur, airnya jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke
tempat lain, Tiga Bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan
untuk menetap di tempat tersebut.
Sementara
itu, di istana, Raja Indragiri sangat resah, karena Datuk Dobalang yang
berkuasa di Negeri Sibuai Tinggi bertindak semena-mena. Dia suka berjudi,
menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam.
Raja Indragiri sudah muak dengan tingkah laku Datuk Dobalang. Sang Raja
kemudian memerintahkan Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk memanggil Tiga
Bersaudara yang dikabarkan berada di Koto Siambul. Sang Raja sudah mengetahui
tentang kehebatan Tiga Bersaudara tersebut.
Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala, Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja.
Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala, Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja.
Sesampai
di hadapan Raja, mereka pun memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan
Baginda Raja memanggil kami,” tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja
menjawab, “Begini saudara-saudara, kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk
menaklukkan Datuk Dobalang yang telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai
Tinggi.” Mendengar jawaban sang Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang
Raja.
Sebagai
bekal, masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta
seekor ayam sabung betina dan dua buah keris bersarung emas buatan Majapahit.
Sabila Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan
“Muhammad”. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas dan suasa.
Setelah
Raja memenuhi semua perlengkapan yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara
tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh oleh 12 orang.
Setiba di Sibuai Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan
ditantang untuk bersabung ayam. Ketiga bersaudara pun bertanya kepada Datuk
Dobalang, “Maaf, Datuk! Apa pantang larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada
empat pantang larang yang harus dipatuhi dalam pertandingan,
yaitu:Pertama,dilarang bersorak dan bertepuk tangan. Kedua, dilarang memekik
dan menghentak tanah. Ketiga,dilarang menyingsingkan lengan baju. Keempat,dilarang
memutar keris kedepan.“Siapa yang melanggar peraturan tersebut dianggap kalah,”
tegas Datuk Dobalang dengan pongahnya.
Kemudian
ketiga bersaudara bertanya lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang
menjawab, “Tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya
sejauh mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya
tanah yang dipertaruhkan Datuk Dobalang, ketiga bersaudara diam sejenak. Mereka
berpikir bagaimana cara mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk
Dobalang. Karena kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar
serentak, “Kami memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri,
lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,”
Sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak
dapat dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu
tanpa menyadari kebodohannya.
Setelah kedua belah pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai anak muda, kapan kita laksanakan pertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayam tersebut dengan seru. Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.
Berkali-kali Tiga Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka pun habis. Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam:“Penat mau bergalah coba-coba mengalas Penat hendak mengalah dicoba membalas”.
Ternyata benar. Baru saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang mengayunkan kerisnya ke arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara.
Suasana di gelanggan semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalang dengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas jatuh tersungkur ke tanah.
Penduduk yang hadir di gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletak itu. Mereka ingin memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa dihantui rasa takut.
Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai pahlawanku, hadiah apa yang kalian inginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tiga bersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.
Setelah kedua belah pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai anak muda, kapan kita laksanakan pertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayam tersebut dengan seru. Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.
Berkali-kali Tiga Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka pun habis. Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam:“Penat mau bergalah coba-coba mengalas Penat hendak mengalah dicoba membalas”.
Ternyata benar. Baru saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang mengayunkan kerisnya ke arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara.
Suasana di gelanggan semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalang dengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas jatuh tersungkur ke tanah.
Penduduk yang hadir di gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletak itu. Mereka ingin memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa dihantui rasa takut.
Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai pahlawanku, hadiah apa yang kalian inginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tiga bersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.
Sang
Raja tidak mengerti apa maksud perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan
para menteri dan orang-orang tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang
permintaan Tiga Bersaudara tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras
untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas
petunjuk Tuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga
Bersaudara adalah pangkat.
Ketiga
Bersaudara tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala
diangkat menjadi Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri
dengan bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu
Pematang lawan Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota
diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu
bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan. Atas
anugerah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah :
Tiada
boleh akal buruk,
Budi
merangkak,
Menggunting
dalam lipatan,
Memakan
darah di dalam,
Makan sumpah 1000 siang 1000 malam.
Ke
atas dak bapucuk,
Ke
bawah dak baurat,
Dikutuk
kitab Al-Qur’an 30Juz.
Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat agama dengan taat.
Sejak peristiwa di atas, ketiga orang bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong (sekarang dikenal Kecamatan Peranap). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Isjoni Ishak dan Mira Dewi Minrasih, ada beberapa usaha yang telah mereka lakukan dalam memajukan masyarakat Baturijal khususnya, dan Tiga Lorong umumnya, antara lain:
1. Menyatukan rakyat yang bermacam-macam suku bangsa melalui pendekatan sosial
2. Meningkatkan perekonomian rakyat melalui bidang pertanian, perkebunan dan perikanan.
3. Menanamkan sifat solidaritas kepada masyarakat Tiga Lorong. Dalam hal ini, mereka tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan adat-istiadat masyarakat yang berlainan tersebut.
4.
Menanamkan nilai-nilai ajaran agama islam yang berpedoman kepada Alquran bagi
masyarakat Tiga Lorong.
Usaha-usaha
yang telah mereka lakukan tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat
desa Tiga Lorong. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekonomi masyarakat.
Selain itu, masyarakat Tiga Lorong sangat taat terhadap ajaran-ajaran Islam
yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah.
Cerita Penghulu Tiga Lorong ini kiranya dapat dijadikan sebagai suri tauladan untuk menciptakan negara yang damai, sejahtera dan makmur. Penguasa yang zalim terhadap rakyat harus dilenyapkan dari muka bumi. (SM/sas/13/7-07)
Cerita Penghulu Tiga Lorong ini kiranya dapat dijadikan sebagai suri tauladan untuk menciptakan negara yang damai, sejahtera dan makmur. Penguasa yang zalim terhadap rakyat harus dilenyapkan dari muka bumi. (SM/sas/13/7-07)
Batang
Tuaka (Indragiri Hilir)
Kabupaten Indragiri Hilir masuk dalam wilayah propinsi
Riau, Indonesia, dan dijuluki sebagai “Negeri Seribu Parit‘. Di daerah ini
rawa-rawa terhampar luas dan sungai-sungai terbentang hampir ke seluruh wilayah
kecamatan. Sungai terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri yang berhulu
di pegunungan Bukit Barisan (Sumatera Barat) dan bermuara di Selat Berhala,
sedangkan sungai-sungai lainnya hanya merupakan anak sungai dari Sungai
Indragiri. Salah satu anak sungai yang sangat terkenal di Indragiri Hilir adalah
Sungai Batang Tuaka yang berada di Kecamatan Batang Tuaka. Konon, nama “Sungai
Batang Tuaka” diambil dari sebuah cerita legenda yang populer di kalangan
masyarakat Indragiri Hilir. Legenda tersebut mengisahkan tentang seorang anak
yang durhaka kepada emaknya, sehingga Tuhan menghukum anak itu karena
kedurhakaannya. Siapakah anak durhaka itu? Bagaimana anak itu durhaka kepada
emaknya? Hukuman apa yang Tuhan berikan padanya? Untuk mengetahui jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikuti kisahnya dalam Legenda Batang Tuaka.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.
Suatu
hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari
kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu
api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang. “Mak, kalau Emak lelah biarlah
Tuaka saja yang menggendong kayu apinya,‘ kata Tuaka saat melihat emaknya
kelelahan. “Tak apa, Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang ada
padamu juga banyak,” jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya.
Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. “Mak! Suara apa itu?”, tanya Tuaka pada emaknya. “Sepertinya itu suara ular berdesis”, jawab emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda. “Tuaka, sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi,” perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit. “Apa yang mereka perebutkan, Mak?” tanya Tuaka. “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita,” jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik.
Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. “Mak! Suara apa itu?”, tanya Tuaka pada emaknya. “Sepertinya itu suara ular berdesis”, jawab emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda. “Tuaka, sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi,” perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit. “Apa yang mereka perebutkan, Mak?” tanya Tuaka. “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita,” jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik.
Tak
lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan
emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka
mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang
terluka itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir
permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh
luka-lukanya. “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,” kata
Tuaka kepada emaknya dengan nada mengajak. “Ya, mari kita bawa pulang, supaya
kita bisa obati di rumah,” jawab Emak Tuaka. Tuaka memasukkan ular itu ke dalam
keranjang yang dibawa emaknya, lalu memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak
Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu
membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuaka sibuk
memberinya minum air sejuk.
Beberapa
hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari
keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya
ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran, lalu mereka
mengamati parmata itu dengan kagum. “Mengapa ular itu meninggalkan permatanya,
Mak?” tanya Tuaka kepada emaknya. “Berangkali dia ingin berterima kasih kepada
kita, karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini
kepada saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup
misikin lagi,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan
tawaran emaknya.
Keesokan
harinya, Tuaka pergi ke bandar yang ramai dengan para saudagar. Sesampai di
bandar, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli
permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia
tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa.
Tuaka berniat membawa pulang pertama itu kepada emaknya. Namun, ketika sampai
di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia
tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan permatanya dengan
harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati
permata berkilau itu. “Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin
memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan
membelinya,” kata sang Saudagar. Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan
hanya tinggal membayarnya,” desak Tuaka
dengan hati berdebar karena bahagia. “Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika
kamu mau, kamu boleh ikut denganku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya,”
kata sang Saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang
Saudagar. “Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik,” jawab Tuaka.
Setelah itu, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada
emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik (Singapura).
Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan,
Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya
nanti.
Setibanya
di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena
uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampung halamannya. Dia
menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya.
Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah,
kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli
emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak.
Suatu
ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung
halaman Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya tersebut.
Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung
yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak
mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah
tua-renta dan miskin.
Sementara
itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas
menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar
beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak
Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka. “Tuaka, Anakku. Emak sangat
merindukanmu, Nak!” teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas
kapal megah itu. “Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut
Kakanda sebagai anaknya?” tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang.
Tuaka
terkejut bukan kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya.
Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia
tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya. “Hei, jauhkan wanita
miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku
sebagai emakku,” teriak Tuaka dari atas kapal. “Ya, usir dia jauh-jauh dari
sini,” tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari
tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh
dari kapal.
Emak
Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi kapal Tuaka. “Oh,
Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia
peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan
mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba
Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah
menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat
anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai
seorang ibu ia sangat mencintai anaknya.
Burung
elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara sungai
sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang
semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka.
Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam bahasa
Melayu menjadi “batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi “Batang
Tuaka”. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama
Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam
wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.
Masyarakat
Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini
benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai
Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara
Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai
penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
Legenda Batang Tuaka ini sangat populer di kalangan masyarakat Riau, sehingga sering diangkat dalam lakon sandiwara semasa tahun 1962-1972. (SM/sas/3/7-07)
Legenda Batang Tuaka ini sangat populer di kalangan masyarakat Riau, sehingga sering diangkat dalam lakon sandiwara semasa tahun 1962-1972. (SM/sas/3/7-07)
Putri Tujuh,
Asal Mula Nama Kota Dumai (Dumai)
Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun
nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini,
Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak
yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap
hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh
menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan
bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman
tradisi.
Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di
kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu
tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat
yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih
menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang
amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan,
pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih
berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan
tentang asal-mula nama Kota Dumai.
Konon, pada zaman dahulu kala, di
daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini
diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh
orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari
ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang
Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona,
kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama,
bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang
panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan
sebutan Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu
sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau,
ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang
mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para
pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri
tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona
melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari.
Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk
Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus
terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta
kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran
mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang
Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran
raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut
oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga
Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun
menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol
paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah
combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini
melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih
dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai.
Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu
Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung
dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak
berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit
Hulu Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran
Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah
pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat
mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh
dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh
malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan
Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap
Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima
bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan.
Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan
tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa,
kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang
antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat
bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan
atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama
kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap
dikenang dalam sebuah lirik: Umbut mari mayang diumbut mari diumbut di rumpun
buluh Jemput mari dayang dijemput Mari dijemput turun bertujuh Ketujuhnya
berkain serong Ketujuhnya bersubang gading Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending Sejak peristiwa itu.
Masyarakat Dumai meyakini bahwa nama
kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang
Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di
Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang
terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada
beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa
itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh;
bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian
lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan
Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar