DANDELION.
Alkisah
di sebuah kampung ksatria terhampar tanah yang luas. Bagi sebagian orang
mungkin tempat ini ngga penting. Apalah arti sebuah tempat sampah. Ya benar,
tanah luas itu dipenuhi banyak sampah. Mungkin karna tak ada seorangpun yang memiliki
tanah di ujung kampung ini. Tapi uniknya, tanah tempat sampah ini terkenal di
seantero kampung bahkan sampai kampung sebelah. Orang-orang memangil tempat ini
dengan ‘Majasan’. Setiap kali ada ada bau tak sedap di sudut kampung, para
penghuni kampung secara refleks menyebutnya. “Baunya kayak di majasan”.
Pun seperti senja yang lalu, di pelataran
rumah sederhana semerbak bau aneh menyengat. Seorang ksatria dari ujung jalan
spontan mengatakan “Kayak bau di majasan’ ya, katanya pada kawannya. Entah
sampai kapan orang-orang akan mengingat namanya tatkala bau tak sedap menyapa.
Padahal sejatinya Tanah majasan itu tak pernah meminta untuk dikenal dari
semerbak sampah yang menempatinya. Mungkin kalau ia bisa memilih takdir, ia
pasti menginginkan ditempati berbagai bunga mawar nan indah. Tapi takdir
berkata lain, ia harus menjalankan perannya menjadi penghuni bumi bersama
tumpukan sampah di sekelilingnya. Banyak orang memandangnya sebelah mata,
mereka tak melihat apa yang dimiliki sang tanah majasan. Hingga sebuah
badai datang menerpa pada suatu malam gempita. Hujan turun dengan derasnya,
disertai angin badai. Membuat porak poranda sesampah disana. Ah, tapi tetap
sama. Masih tumpukan sampah yang sama, mungkin hanya formasinya yang berbeda
karena badai semalam.
Tanpa
terpikirkan oleh siapapun, saat mentari mulai menyibakkan tirainya. Ada
penghuni baru di tanah majasan. Sebuah benih mulai tumbuh di sudut majasan’.
Entah dari mana ia datang, mungkin sang angin membawanya bersama badai kemarin.
Benih itu perlahan tumbuh, pelan tapi pasti, lembar daun demi daun pun terlahir
bersama tangkai yang menjulang. Hingga suatu pagi, di hari kedua musim
semi. saat sang mentari menyapa penduduk bumi.
“Heyy.. ada
bunga cantik disanaa, putih bersih”, teriak gadis kecil dengan gaun pinky nya.
“Ayah, aku mau
bunga ituu..”, rengek sang gadis kecil. Tangannya terus menarik-narik celana
sang ayah.
“Bunga yang
mana? yang dekat tumpukan sampah itu? Kamu yakin mau itu, tanya sang ayah.
Terlihat sedikit rasa ragu dalam sudut wajahnya.
Putrinyapun
mengangguk pelan. Dengan tenang sang ayah mengusap kepala gadis kecilnya..
“Besok ya
sayang..kalau bunga itu sudah tumbuh banyak, kita kembali lagi kesini dan kau
boleh mengambilnya”.
“Tapi
ayah, boleh aku menamai bunga ini?, aku belum pernah melihat bunga ini”.
“Boleh sayang”.
Senyum bahagia terlihat dalam wajahnya.
‘Dandelion’
. iyya.. ayah. Dande, untuk namaku dan lion untuk kucing
kesayanganku.
Gadis kecil
itupun tertawa riang, dipeluknya sang ayah.
Bersama
sang mentari, belaian hujan dan sepoi angin berhembus, Tanah majasan’ mulai
ditumbuhi bunga putih. Kini, meski tak semuanya penghuni kampung tak lagi
menyebutnya tempat sampah majasan. Ayah sang gadis yang ternyata adalah salah
satu ksatria terhormat, menyuruh para prajuritnya untuk membersihkan lapangan
sampah itu. Rasa sayangnya pada putrinya tak mampu mengalahkan egonya. Ia ingin
memberinya hadiah, bukan hanya setangkai bunga ‘dandelion’ tapi lebih dari itu,
hamparan taman bunga dandelion’. Pada akhirnya para penghuni kampung tak lagi
menumpuk sampah disana. Bahkan makin banyak gadis kecil yang bermain, berlarian
bersama benih-benih dandelion yang terbang menjemput takdirnya.
Kini
tanah majasan menjadi taman dandelion yang indah. Orang mungkin tak kan lupa
dengan sejarahnya, tapi tanah bersama tumpukan sampah itu sudah memilih
takdirnya, menjadi tumpuan dandelion. Ia bisa saja menolak ditumbuhi benih
dandelion, dan takdir ini takkan pernah terjadi, Taman Dandelion’ .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar