Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan
Pendidikan Yang Bermutu?
dr. Fasli Jalal, Phd. |
PENDAHULUAN
Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward
linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward
linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah
perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa
yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki
sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa
pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu,
yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat.
Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat
mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua
bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan
guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah
di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu
dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa
negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore,
Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya
meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung
mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada
harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang
Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan
kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi
Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi
ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok
guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima
guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam
UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring
dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan
sosialisasi UUGD ini, patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara
otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan
mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan
lebih bermutu?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis
analitis. Karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan
mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum
berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan
kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan
amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 –
2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi.
Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yangb sama mentargetkan
mensertifikasi 2,7 juta guru. sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil
meningkatkan kualitas kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.
SERTIFIKASI PROFESI GURU
Undang-undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan
politik bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan
hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat
mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi
tersebut.
Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang:
- Pendidik
wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen
pembelajaran.
- Kualifikasi
akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program
diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru
dan S-2 untuk dosen.
- Kompetensi
profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Pertama, kompetensi pedagogik. Adalah kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta
didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian
pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi
peserta didik, dan berakhlak mulia.
Ketiga, kompetensi sosial. Adalah kemampuan pendidik
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.
Keempat, kompetensi profesional. Adalah kemampuan
pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.
Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah
memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti
uji sertifikasi.
Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi:
- Sebagai
bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik, dan
- Berdiri
sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya UUGD sudah berstatus
pendidik.
Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan akan
dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan
pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan:
- kualifikasi
akademik;
- pendidikan
dan pelatihan;
- pengalaman
mengajar;
- perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran;
- penilaian
dari atasan dan pengawas;
- prestasi
akademik;
- karya
pengembangan profesi;
- keikutsertaan
dalam forum ilmiah;
- pengalaman
organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
- penghargaan
yang relevan dengan bidang pendidikan.
Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan
lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus
penilaian portofolio dapat:
- melakukan
kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus,
atau
- mengikuti
pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan
evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan
tinggi penyelenggara sertifikasi.
Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru
mendapat sertifikat pendidik.
Apa yang harus dilakukan? Menyimak dari pengalaman
pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara, maka akan muncul pertanyaan.
“Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?” Dan
apabila gagal, “mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru?”
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas
kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai
suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Kegagalan dalam mencapai
tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan sertifikasi sebagai tujuan itu
sendiri.
Bagi bangsa dan pemerintah Indonesia harus senantiasa
mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan sampai sertifikasi menjadi tujuan.
Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik,
guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan
sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
JAMINAN MUTU
Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan
kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara
mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas
kompetensi guru.
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi
merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu
sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan
pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju
kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan
melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk
mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi,
maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang
harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan
konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan
ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan
utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat
menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana
disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi
logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini
maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi
kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji
sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai
suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan
mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan
tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan
lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga
penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan
melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai
LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi
keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang
mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan
konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus
tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri.
Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan
akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat
profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan
sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada.
Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya
guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan
yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak
benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera
mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari
lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji
sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan
tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki
tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka
sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi.
Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang
harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi.
Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang
terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah
menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun
untuk pemberian tunjangan profesi.
PEMBINAAN PASCA SERTIFIKASI
Pembinaan guru harus berlangsung secara
berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a
learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai
guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban
untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.
Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous
profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu
kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja
untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi
pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak
akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan
profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota
serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim
Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
- menelaah
dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
- mengembangkan
model-model pembelajaran
- mengembangkan
modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
- memberikan
pembekalan kepada instruktur pada LPMP
- mendesain
pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan
MGMP
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi
melakukan seleksi guru utk menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi
per mata pelajaran dengan tugas:
- menjadi
narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
- mengembangkan
inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
- menjamin
keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi
Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata
pelajaran dengan tugas:
- motivator
bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
- menjadi
fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
- mengembangkan
inovasi pembelajaran
- menjadi
narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP
KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru
melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru.
PENUTUP
Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk
mewujudkan guru yang profesional: sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini
merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang
berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat
utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa.
Undang-Undang Guru dan Dosen telah hadir sebagai suatu
kebijakan untuk mewujudkan guru profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi
dan sertifikasi akan menentukan kualitas dan kompetensi guru. Namun demikian,
pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan
biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara
pemerintah menghadapi tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah
sertifikasi akan berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru.
Surabaya, 28 April 2007
Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS Unair, pada tanaggal 28 April 2007 di Surabaya
Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS Unair, pada tanaggal 28 April 2007 di Surabaya
Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional
SUMBER:
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Draft Permendiknas tentang sertifikasi.
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Draft Permendiknas tentang sertifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar